Polemik Sound Horeg Di Tengah Kemiskinan

Ilustrasi truk sound horeg. [AI Imagen 4]

Dalam sistem Kapitalisme, sebuah perayaan tidaklah luput dari iringan musik. Jika dulu iringan musik cukup disambungkan sound system dengan tingkat kebisingan normal 85 desibel, namun kini iringan musik menggunakan sound horeg menjadi pilihan, meskipun tingkat kebisingannya sangat tinggi, di atas 85 desibel. Tingkat kebisingan yang tinggi ini sangat mengganggu ketenangan dan pendengaran masyarakat. Selain itu getaran suara sound horeg juga dapat merusak rumah dan fasilitas umum.

Biaya sewa sound horeg cukup fantastis bagi masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Biaya sewa sound horeg tidak mungkin hanya berada dalam kisaran jutaan, minimal puluhan juta. Reputasi vendor turut menentukan biaya sewa sound horeg. Semakin terkenal vendornya semakin tinggi harga sewanya. Selain itu, biaya sewanya juga dipengaruhi oleh jumlah subwoofer, kapasitas daya, dan biaya-biaya seperti biaya operasional, transportasi, DJ di tiap lagunya dan lain sebagainya.

Bacaan Lainnya

Melansir dari Beritajateng.id (03/08/2025), kontroversi terjadi pada gelaran Festival Sound Horeg di salah satu desa di Kabupaten Rembang. Festival ini awalnya tidak mengantongi izin dari Kepala Desa. Meski ada warga yang kontra, namun warga yang pro sound horeg jumlahnya lebih banyak. Mereka pun mendesak untuk tetap diselenggarakan. Akhirnya, panitia meminta perizinan langsung ke Polres Rembang dengan biaya sendiri secara patungan dari warga, sehingga Festival Sound Horeg pun terlaksana pada tanggal 3 Agustus 2025.

Meski tertib dan tidak ada tragedi yang memilukan seperti halnya di Lumajang (meninggalnya ibu muda pasca menonton sound horeg), namun Festival Sound Horeg ini sebenarnya hanyalah fenomena fomo, hura-hura dan foya-foya belaka. Padahal, kondisi ekonomi warga saat ini sedang tidak baik-baik saja. Hal ini dikarenakan adanya resesi yang masih menghantui perekonomian Indonesia.

Sound horeg menjadi polemik lantaran terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. MUI Jatim mengharamkan sound horeg karena tingkat kebisingannya yang terlalu tinggi dapat merusak kesehatan warga dan fasilitas umum. Sementara MUI Jateng, belum mengkaji tentang haramnya sound horeg.

Menurut Menteri Ekraf (Ekonomi Kreatif), Teuku Riefky Harsya menyebutkan bahwa sound horeg termasuk salah satu kearifan lokal dan bentuk kreativitas pemuda negeri ini. Oleh karena itu, Menteri Riefky, tidak melarang melainkan menghimbau warga agar mengontrol suara sound horeg sehingga tidak mengganggu masyarakat. Adapun aturan tentang itu diserahkan ke Pemerintah Daerah masing-masing.

Demikianlah cara pandang dan cara hidup dalam sistem kapitalisme sekuler. Berbuat sesuatu karena asas manfaat, tanpa mengindahkan halal-haram. Kegiatan tidak berfaedah diberi ruang dengan dalih kearifan lokal dan ekonomi kreatif. Masyarakat yang menderita karena kesulitan ekonomi dihibur dengan dentuman suara sound horeg yang menggelegar. Kebebasan berekspresi, mengedepankan ego dan hawa nafsu merampas ruang hidup orang lain. Hasilnya, bukan healing yang didapat tapi kepala pusing karena suara yang bising.

Berbeda dengan Islam. Perayaan dan budaya apapun harus disesuaikan dengan syariat Islam. Jika dalam suatu festival terdapat indikasi keharaman seperti membahayakan lingkungan sekitar dan fasilitas umum, atau memberikan ketidaknyamanan pada masyarakat, maka sudah tentu hal itu akan dilarang. Apalagi jika dalam perayaan atau festival, konten yang diangkat hanya untuk joget-joget, hura-hura dan tidak ada unsur kemaslahatan untuk umat, maka hal itu dianggap sebagai suatu pemborosan waktu, tenaga dan harta.

Padahal, Islam telah melarang manusia berbuat boros. Allah swt. berfirman: “Sesungguhnya para pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS Al-Isra: 27)

Energi masyarakat hendaknya diarahkan untuk kebaikan dan kebermanfaatan. Misalnya untuk menggelar Festival untuk syi’ar Islam, perlombaan atau pelatihan yang mencerdaskan masyarakat. Syaratnya, kegiatan tersebut harus sesuai syariat Islam dan tidak melanggar norma-norma masyarakat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala juga berfirman: “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf: 56)

Adapun anjuran untuk bersedekah, maka kaum muslimin dianjurkan untuk menyedekahkan sebagian hartanya untuk hal yang bermanfaat. Sedekah di waktu yang sempit insyaallah akan menjadi harta yang bermanfaat dan menambah keberkahan.

Konsep seperti ini hanya ada dalam Islam. Manusia diberikan pemahaman bahwa hidup di dunia untuk beribadah kepada Allah. Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat. Tolok ukur perbuatannya halal-haram, dan kebahagian terletak pada ridho Allah semata. Dengan pemahaman ini, setiap diri akan berusaha berbuat baik dan mengikatkan dirinya dengan syariat, sehingga terhindar dari perilaku tabzir (pemborosan).

Kehidupan yang penuh kebaikan hanya akan terwujud dengan penerapan syariat Islam secara kaffah. Kemiskinan pasti akan dihilangkan. Setiap muslim didorong untuk kaya dengan cara yang benar, dan mencari hiburan tanpa maksiat. [Ummu Arkan (Pegiat Literasi)]

Wallahu a’lam.

Pos terkait