Hati-Hati! Tahun 2026, Tanah Tak Ber-SHM Jadi Milik Negara

Belakangan ini, beredar informasi terkait penghentian keberlakuan beberapa dokumen tanah lama, seperti Letter C, Petok D, dan Girik, mulai Tahun 2026. Informasi ini mengacu pada ketentuan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen ATR/BPN) Nomor 16 Tahun 2021.

Dilansir dalam tempo.com (3/1/2025), Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron wahid menjelaskan girik otomatis tidak berlaku setelah seluruh tanah di suatu kawasan telah terpetakan dan diterbitkan sertifikatnya. Lebih lanjut, Menteri Nusron menambahkan bahwa terdapat pengecualian jika ada cacat administrasi yang terbukti dalam waktu kurang dari lima tahun, maka girik masih dapat digunakan sebagai bukti.

Bacaan Lainnya

Menteri Nusron menilai bahwa proses digitalisasi data pertanahan akan mengakhiri era girik sekaligus memperkuat kepastian hukum atas kepemilikan tanah. Proses ini dinilai sebagai langkah besar pemerintah dalam menciptakan sistem pertanahan yang lebih transparan dan bebas konflik.

Awalnya, girik dan dokumen tanah lama lainnya merupakan bukti kepemilikan tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (Dirjen PHPT) Asnaedi menjelaskan, dalam beleid itu disebutkan bahwa pemilik tanah diberi waktu untuk mendaftarkan tanah mereka. Namun, seiring berjalannya waktu dan beberapa peraturan tambahan, hak atas tanah yang bersumber dari girik seharusnya sudah tidak berlaku.

Kapitalisme, Kuasai Tanah Tak Bersertifikat

Perlu dicermati bahwa penghentian keberlakuan beberapa dokumen tanah lama seperti girik dan lain-lain berpotensi menimbulkan penguasaan dan pemanfaatan tanah yang tidak bersertifikat oleh para oligarki demi kepentingan bisnis mereka. Meski dengan tegas pemerintah, yang dalam hal ini adalah Kementerian Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN menyatakan pemberian sertifikat kepemilikan atas tanah dapat memperkuat kepastian hukum dan bebas dari konflik pertanahan.

Justru melalui Permen ATR/BPN Nomor 16 Tahun 2021, oligarki akan lebih mudah menguasai dan memanfaatkan tanah yang tidak bersertifikat. Alih – alih akan terbebas dari konflik pertanahan, rakyat lah yang nantinya akan menjadi korban dari peraturan ini dan akan memicu konflik baru yang tidak berkesudahan.

Dalam Sistem Kapitalisme, orang bebas memiliki apapun yang dia inginkan tanpa melihat apakah tindakannya melanggar hukum atau tidak. Karena negara hanya sebagai fasilitator bagi seseorang untuk memiliki sesuatu yang diinginkannya. Para oligarki akan lebih mudah mengambil alih hak atas pengelolaan dan pemanfaatan tanah yang tidak bersertifikat tersebut dengan menghalalkan segala cara meski harus berhadapan dengan penguasa sekalipun.

Sebaliknya dalam Islam, ada larangan penguasaan dan pemanfaatan tanah secara individu atau korporasi selama tanah tersebut masih dalam kepemilikan umum. Rasulullah SAW bersabda,

Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

Hadis di atas menyatakan bahwa kaum muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.

Islam, Aturan Yang Sempurna Dan Menyeluruh

Islam memiliki seperangkat peraturan yang sempurna dan menyeluruh, mencakup seluruh sendi kehidupan manusia baik dalam hubungannya dengan Allah SWT, dengan dirinya sendiri maupun dengan sesamanya. Sehingga segala permasalahan yang muncul di masyarakat harus dikembalikan kepada Islam.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (QS. Al-Ahzab : 36)

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, makna dari ayat di atas adalah mencakup semua urusan. Maka ketika Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara, maka tidak ada seorang pun yang boleh menyelisihinya dan harus dilaksanakan. Maka, jika ada permasalahan dalam kehidupan masyarakat, penyelesaiannya adalah dengan Islam.

Potensi penguasaan dan pengelolaan tanah yang tak bersertifikat oleh para oligarki tidak akan pernah terjadi jika Negara benar – benar menerapkan aturan Islam dalam mengatur kepemilikan atas sumber daya alam dan mencampakkan sistem kapitalisme yang rusak dan merusak itu. Dengan begitu, kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan bagi seluruh rakyat bisa dirasakan.

Wallahua’lam. [Abdul Shokib, ST., MM]

Pos terkait