Baru-baru ini, masyarakat digemparkan dengan ulah penguasa daerah di Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bupati Pati, Sudewo menyatakan bakal menaikkan tarif pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2). Tidak tanggung – tanggung, kenaikan tarif tersebut mencapai 250 persen. Angka yang sungguh fantastis ditengah – tengah kondisi ekonomi yang tidak baik-baik saja. Lebih lanjut, Sudewo menjelaskan bahwa kenaikan tarif ini bertujuan meningkatkan pendapatan daerah guna mendukung berbagai program pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik.
Rencana kenaikan pajak ini memantik emosi masyarakat Pati. Setelah menggelar demonstrasi penolakan kenaikan pajak dan menggalang donasi untuk demonstrasi yang lebih besar, Bupati Pati akhirnya membatalkan kebijakan kenaikan pajak tersebut. Dalam keterangan persnya, ia mengatakan bahwa pembatalan itu dilakukan demi menjaga kondusivitas wilayah dan kelancaran perekonomian serta pembangunan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Kenaikan pungutan pajak memang selalu terjadi dalam negara kapitalis. Pasalnya, sistem kapitalisme dibangun dengan pilar liberalisme yang memberikan kebebasan kepada individu untuk memiliki apapun yang mereka mampu. Artinya, negara memberi kebebasan kepada pemilik modal untuk menguasai sumber daya alam (SDA) yang menjadi hajat hidup masyarakat. Kebebasan ini legal dan dilindungi oleh undang – undang yang dihasilkan dari sistem pemerintahan demokrasi yang sekuler. Karena itulah, pemerintah membangun negara dengan membebankan pajak kepada rakyat, bukan dengan memanfaatkan SDA yang ada. Inilah yang menyebabkan kemiskinan sistemik.
Pada saat yang sama, rakyat harus menanggung sendiri semua kebutuhan hidupnya seperti pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok lainnya. Di satu sisi, negara memiliki tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya. Di sisi lain, negara juga memiliki tanggung jawab dalam membangun infrastruktur dan memberikan pelayanan publik yang baik. Akan tetapi, mengapa tanggung jawab negara tersebut malah dilemparkan kepada rakyat dengan memungut pajak?
Faktanya, pajak merupakan sumber pemasukan utama negara yang menjalankan sistem kapitalisme. Hal ini berbeda dengan sistem Islam. Sumber pemasukan negara yang utama dalam Islam bukanlah berasal dari pajak. Dalam kitab Al Amwal karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, menyebutkan bahwa ada tiga bagian yang menjadi sumber pemasukan negara. Sumber pemasukan tersebut antara lain fa’i dan kharaj, kepemilikan umum, serta shadaqah.
Selain itu, dalam negara Islam yang dikenal dengan istilah Khilafah, rakyat tidak dibebani dengan pungutan pajak yang memberatkan. Hal ini karena hukum asal pajak adalah haram sebagaimana Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka.” (HR Ahmad). Hadits ini menjelaskan tentang keharaman pajak dan ancaman bagi para pemungutnya.
Lebih jauh, dalam negara khilafah, pajak tidak diambil secara tetap sebagaimana yang terjadi dalam negara kapitalis. Pajak hanya diberlakukan sementara dan bersifat insidental. Oleh karena itu, pajak adalah pilihan terakhir dan tidak akan diambil kecuali dalam keadaan tidak ada harta dalam baitul maal. Pun, tidak semua warga negara otomatis menjadi wajib pajak. Akan tetapi, pajak hanya diambil dari warga negara yang mampu saja.
Tidak hanya itu, Islam juga memiliki konsep kepemilikan yang khas. Kepemilikan dalam Islam dibagi menjadi 3, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Melalui konsep kepemilikan ini, Islam mengatur bagaimana cara memperoleh harta, mana yang bisa dimiliki, mana yang tidak boleh dimiliki, mana yang milik bersama dan mana yang menjadi milik negara.
Kepemilikan individu adalah harta yang diperoleh melalui transaksi yang sah secara syar’i. Individu rakyat boleh memiliki bisnis apapun, asal dihalalkan oleh syariat. Allah swt. berfirman yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil.” (QS An-Nisa : 29)
Sementara itu, kepemilikan umum ditunjukkan dalam hadits: “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Karena itu, padang rumput: termasuk hutan, api: meliputi minyak bumi, batu bara, gas, dan sumber energi lainnya, serta air: baik yang di sungai, laut dan danau, adalah milik umum. Harta milik umum ini dikelola oleh negara, kemudian hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Tidak hanya kebutuhan sandang, pangan dan papan, tetapi juga kebutuhan lainnya seperti, kesehatan, dan pendidikan.
Sedangkan kepemilikan negara adalah harta apa saja yang bukan termasuk kepemilikan individu dan umum. Ketiga jenis harta tersebut, baik sumbernya maupun peruntukannya, telah ditetapkan secara terperinci oleh syariat Islam. Menaati ketetapan ini sama dengan taat kepada Allah dan RasulNya. Hasil dari ketaatan tersebut adalah keberkahan dalam hidup.
Dengan demikian, membangun negara tanpa pajak adalah hal yang mudah dengan syariah. Seluruh harta yang ada lebih dari cukup untuk membangun negara. Harta kepemilikan umum yang berlimpah juga sangat mungkin untuk memberikan fasilitas umum dan pelayanan publik tanpa biaya apapun. Dengan pengaturan Islam oleh khilafah terhadap semua harta yang ada, kesejahteraan menjadi wujud keberkahan dari Allah. [Dewi Astutik (Aktivis Muslimah)]
Wallahu a’lam.