Ilusi Kemerdekaan di Era Globalisasi: Antara Realitas dan Harapan

Momentum hari kemerdekaan Indonesia ke-80 digelar di Istana Merdeka oleh presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, beserta para Menteri dan jajarannya. Seremonial peringatan HUT ke-80 Kemerdekaan RI tampak begitu riuh dan gegap-gempita. Peringatan ini melibatkan beberapa artis ibu kota yang sengaja dihadirkan untuk memeriahkan acara. Adapun tema yang diusung, yakni Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju. Kegegapgempitaan itu seolah-olah menggambarkan bahwa bangsa ini benar-benar telah merdeka dan sejahtera. Namun tertanam tanya dalam dada, benarkah pemerintahan negara Indonesia ini sudah merdeka sepenuhnya?

Merdeka adalah bebas dari belenggu perhambaan, penjajahan, atau kekuasaan pihak lain, serta berdiri sendiri, tidak bergantung pada pihak lain, dan dapat bertindak sesuai kehendak sendiri. Secara etimologis, kata merdeka berasal dari bahasa Sanskerta maharddhika yang berarti kaya, sejahtera, dan kuat. Dengan demikian, ketika suatu negara berada dalam kondisi bebas dari pengaruh negara lain, memiliki kemandirian, memiliki kekayaan dan kekuatan, serta rakyatnya hidup sejahtera, barulah negara tersebut disebut merdeka.

Bacaan Lainnya

Akan halnya merdeka secara individu, seseorang dikatakan merdeka apabila dirinya terbebas dari pengaruh individu lain. Kehidupannya mudah dan nyaman dalam kesejahteraan. Kemampuan berpikirnya kritis, tidak terikat oleh algoritma media sosial maupun tren tertentu atau keinginan untuk tampil sempurna yang berdasarkan standar manusia pada umumnya.

Merdeka yang sesungguhnya, bukanlah ilusi yang dikaburkan menjadi kenyataan. Merdeka itu seharusnya tampak pada meluasnya keadilan dan kesejahteraan di semua level masyarakat. Akan tetapi, yang terjadi justru sebaliknya.

Hari ini, permasalahan ketimpangan sosial terjadi dimana-mana. Tidak hanya di kota-kota besar saja namun juga terjadi hingga pelosok desa. Negara ini bukanlah negara yang dibangun berdasarkan sistem kasta, namun pelayanan publiknya menunjukkan perbedaan kasta yang begitu nyata. Materi dijadikan standar kebahagiaan sehingga menumpuk harta menjadi kebiasaan.

Kemiskinan pun masih terus terjadi. Meski secara persentase angka kemiskinan diklaim menurun, namun anehnya tunggakan pajak semakin meningkat, pasar-pasar sepi, hingga menjamurnya pinjaman online (pinjol) menjamur. Ini menunjukkan bahwa kondisi hari ini, jumlah orang miskin terus bertambah sehingga semakin banyak orang yang kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Merdeka dari mana?

Kemiskinan yang terus terjadi mengakibatkan kerusakan yang lebih parah. Kriminalitas meningkat berupa kejahatan dan kekerasan dalam berbagai bentuk termasuk kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Parahnya, ketiadaan pekerjaan yang layak tidak segera dipenuhi oleh pemerintah. Pemerintah justru abai terhadap keberlangsungan kehidupan rakyatnya. Para pejabat terlibat kasus korupsi. Penegak hukumnya malah menjadi pelaku pelanggaran hukum. Miris….

Sumber dari kekacauan ini adalah penerapan sistem demokrasi. Demokrasi lah yang memberi ruang bagi lahirnya berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Demokrasi juga menjadi pilar kapitalisme menunjukkan karakter aslinya yang culas dan nir empati terhadap rakyatnya sendiri. Berbagai aksi demonstrasi memunculkan ketegangan di tengah masyarakat. Padahal, aksi tersebut merupakan bentuk protes dari rakyat yang jengah dengan kelakuan DPR.

Upacara bendera kehilangan makna. Berbagai lomba menjadi hiburan di tengah kepedihan. Rakyat dibuat sibuk dengan urusan mereka sendiri. Sementara undang-undang yang merampas hak hidup rakyat terus dibuat.

Indonesia sebagai negara yang kaya sumber daya alamnya, semestinya mampu membuat rakyat hidup makmur sejahtera. Akan tetapi kesuburan tanahnya yang bisa mengeluarkan berbagai macam tanaman pangan maupun rempah-rempah ternyata masih menyisakan perut-perut yang kelaparan. Mengapa ini bisa terjadi?

Apabila kita perhatikan, akar permasalahan yang menimpa negeri ini bukan sekedar kesalahan individu, rezim tertentu atau kebijakan teknis. Akar masalah yang sesungguhnya adalah diterapkannya sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini memisahkan agama dari ruang publik dan menjadikan akal manusia sebagai sumber hukumnya, bukan wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala. Sistem ini menyerahkan urusan ekonomi serta kekuasaan kepada kepentingan segelintir elit. Kekuasaan yang bertumpu pada segelintir orang tanpa ada pembatasan yang jelas akan menyebabkan penyelewengan kekuasaan yang berujung kedzaliman. Kemerdekaan yg selalu di elu-elukan di atas berbagai kezaliman itu hanyalah ilusi semata.

Lantas, bagaimanakah kemerdekaan yang hakiki? Dalam Islam, kemerdekaan hakiki adalah kebebasan dari segala bentuk penindasan dan penghambaan kepada selain Allah, serta kebebasan untuk hidup sesuai dengan syariat dengan tanggung jawab kepada Tuhan dan sesama. Kemerdekaan terwujud dalam kesejahteraan dan terlepasnya manusia dari berbagai kezaliman.

Karena itulah, kesadaran umat harus senantiasa ditumbuhkan agar selalu peka terhadap segala kezaliman. Selanjutnya, kesadaran itu diarahkan kepada perjuangan hakiki, yaitu dengan mengganti sistem yang rusak ini dengan sistem yang berasal dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Yaitu, syariat Islam yang diterapkan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan. Dengan kata lain, mengganti sistem kapitalisme dengan Khilafah yang akan menerapkan Islam secara kaffah.

Khilafah akan mengambil kekuasaan dari rakyat untuk menegakkan Islam serta mengurus berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan syariat Islam. Semua ini adalah wujud keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt.. Saat negeri yang berpenduduk mayoritas muslim ini benar-benar beriman dan bertakwa, maka kemakmuran, kesejahteraan, keadilan serta aneka kebaikan (keberkahan) pasti dirasakan oleh mereka.

Allah Swt. berfirman: “Andai saja penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan membuka untuk mereka keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka telah mendustakan (ayat-ayat Kami). Karena itu Kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat itu.” (TQS Al-A’raf [7]: 96)

Wallahua’lam. []

Pos terkait