Dulu waktu masih SD terkesan banget dengan sebutan Indonesia sebagai ‘Zamrud Katulistiwa’, dimana julukan ini diberikan kepada Indonesia karena letaknya yang berada di garis khatulistiwa dan kekayaan alamnya yang luar biasa, hijau dan subur, seperti batu zamrud.
Apalagi kalau dipadukan dengan lagunya band legendaris Koes Plus yang berjudul ‘Kolam Susu‘, dimana Orang menyebut tanah kita (Indonesia) ini adalah tanah surga. Tongkat kayu dan batu bisa jadi tanaman. Penggambaran kondisi Indonesia yang sangat subur dan makmur, luar biasa bukan?
Tapi kini? Ya kita bisa lihat kondisi negeri kita saat ini, bukan tanahnya tidak subur lagi, bukan pula sumber daya alamnya yang sudah tiada, tetapi tanah subur dan sumber daya alam itu sekarang dikuasai oleh pihak asing dan swasta, dimana negara hanya mendapatkan sebagian kecil dari nilai pajaknya saja, belum lagi sebagian kecil pajak yang didapat itu masih diselewengkan sana sini untuk kepentingan pribadi para pejabat negeri ini. Mengenaskan bukan?
Kenapa bisa seperti ini? Apakah negara tidak mampu mengelolanya sendiri? Pertanyaan ini yang menggelayut dibanyak benak masyarakat negeri ini. Tentu bukan karena ketidakmampuan negara dalam mengelolanya sendiri, ada faktor lain yang menyebabkan kekayaan alam kita diambil atau dieksploitasi oleh asing atau swasta, yaitu dimana Indonesia menerapkan sistem Kapitalisme, dimana kekayaan alam suatu negara bisa dieksploitasi oleh pihak luar atau swasta dengan hanya berpijak kepada undang-undang yang ada, undang-undang yang memang sudah disiapkan sedemikian rupa oleh para Oligarki yang diwakili DPR dan penguasa. Padahal kalau sumber daya alam ini dikelola sendiri oleh negara dan hasilnya diperuntukkan untuk menyejahterakan rakyat, maka rakyat sudah tidak dibebani yang namanya pajak dan APBN tidak menggantungkan pemasukan dari sektor pajak, karena dari pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki negeri ini sudah sangat melimpah ruah hasilnya.
Lebih jauh dalam konteks Indonesia, kekayaan alam seperti bumi, air, dan kekayaan alam lain yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi memang, diakui atau tidak, undang-undang di negeri ini saling timpang tindih, seperti undang-undang terkait eksploitasi sumber daya alam misalnya, ada Undang-undang Cipta Kerja yang akan memberikan kemudahan bagi para Oligarki (kapitalis) untuk mengeksploitasi sumber daya alam di Indonesia ini. Inilah ciri negara yang menerapkan sistem Kapitalisme, lebih mementingkan kepentingan kapitalis ketimbang rakyatnya sendiri.
Berbeda dengan sistem Islam, dalam syari’at Islam sumber daya alam (SDA) adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara secara amanah, adil, dan berkelanjutan untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk keuntungan individu atau korporasi. Pengelolaan harus memperhatikan keseimbangan ekosistem, mencegah kerusakan lingkungan (ekologi) dan kerusakan moral (mentalitas), serta memastikan manfaatnya kembali kepada seluruh rakyat melalui negara sebagai pengelola yang bertanggung jawab. Seperti apa yang termaktub di hadits Rasulullah SAW,
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Untuk itu hanya dengan menerapkan sistem Islam lah kesejahteraan negeri ini bisa diwujudkan. Agar rakyat bisa menikmati sumber daya alam yang dimilikinya, dan tentunya Indonesia akan menjadi negeri yang “Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur” seperti yang disemboyankan oleh para ulama kita. [Jady Rembang]
Wallahu a’lam.